Banyak dari kita yang terobsesi melakukan amal-amal perbaikan. Kemudian, sebagian dari kita meyakini dan melakoni dengan sungguh cita perbaikan. Ingin memperbaiki dunia agar menjadi lebih baik dalam keyakinan setiap kita. Tapi, apakah benar demikian?
Jika memandang secara baik sangka, maka kita akan mendapati setiap orang ingin dan sedang melakukan amal-amal perbaikan dalam versinya masing-masing. Ada yang tampak, ada yang tersembunyi, dan bahkan ada yang keliru. Bukannya perbaikan tapi malah perusakan. Bukankah Fir’aun merasa diri melakukan perbaikan di negerinya pada masanya?!
Dalam konteks ini, perspektif menjadi dasar penentu kadar kebenaran dari amalan perbaikan. Maka, sebagai seorang muslim, perspektif yang kita gunakan untuk menilai suatu amalan sebagai usaha perbaikan atau bukan adalah kebenaran sahih yang berasal dari Islam, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ para ulama. Bukan atas penafsiran personal yang bisa jadi condong kepada hawa nafsu.
Dalam Ihya’, Imam Al-Ghazali meletakkan dasar pemahaman bahwa ilmu menjadi dasar perspektif dalam melakukan amal. Ilmu di sini bukan sekedar knowledge, tapi konsep pengetahuan relevan dengan kebutuhan praktis dari suatu amalan. Karena itu, seseorang yang dikatakan berilmu, bukan sekedar orang yang telah tahu, tapi juga ia sudah mengamalkan ilmu tersebut.
Dari sini, maka prioritas ilmu adalah ilmu yang sudah dekat dengan kewajiban amal bagi setiap orang. Setiap muslim minimal sekali harus mengetahui ilmu tentang kewajiban amal personalnya, yaitu ilmu tentang syahadat, shalat, puasa, hawa nafsu dan sikap buruk yang mencelakakan, dan akhlak dalam kehidupan keluarga dan sosial. Dengan ilmu ini, maka setiap muslim akan mampu beramal baik dan melakukan perbaikan pada dirinya, dan secara tidak langsung menjadi teladan bagi keluarga dan lingkungannya.
Setelah memahami dan mengamalkan ilmu dasar tersebut, baru setelahnya muncul kewajiban memahami ilmu lainnya sesuai tahapan kewajiban masing-masing. Jika ia kemudian mulai memiliki nafkah, maka wajib baginya memahami ilmu tentang harta halal dan haram, zakat, sedekah, wakaf, haji, serta ilmu keterampilan khusus di bidang nafkahnya masing-masing. Dengan ilmu ini, maka ia akan mampu melakukan amal baik dan melakukan perbaikan bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungannya.
Kemudian, ketika ia menjadi profesional atau sosok yang dipercaya mengelola suatu posisi amanah tertentu di ruang publik, baik dari RT ataupun pada tingkat yang lebih tinggi, maka menjadi wajib baginya memahami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan seni mengelola amanah tersebut. Dengan ilmu ini, maka ia akan melakukan perbaikan di posisi amanahnya serta terjaga dari peluang melakukan kerusakan karena ketidakmampuan mengelola amanahnya.
Sampai di sini, sekiranya kita sudah mengilmui setiap tahapan amalan kita masing-masing, maka sejatinya setiap kita telah melakukan amalan perbaikan sesuai tahapan amanah kita di dunia. Dengannya, setiap kita akan menjadi bintang sesuai tahapan amalnya masing-masingmasing-masing. (Das)